Senin, 03 November 2008

Candi Muarojambi, Pesaing Borobudur

Komplek Candi Muaro Jambi terlupakan selama bertahun-tahun. Baru pada abad XIX pusat peribadatan umat Budha itu mendapat perhatian dan sekarang menjadi salah satu obyek wisata

Jambi di kancah kepariwisataan dunia maupun nasional tidak sepopuler Bali ataupun tempat-tempat wisata di Jawa. Ia juga kalah bersaing dengan provinsi tetangganya, Sumatera Selatan, dalam hal jumlah wisatawan. Padahal, provinsi ini menyimpan potensi pariwisata yang tidak kalah unik dan menarik. Ia memiliki komplek candi yang diperkirakan menjadi tempat I-Tsing, rahib asal Tiongkok, memperdalam agama Budha pada abad VII.



Komplek candi itu dinamakan Candi Muaro Jambi karena terletak di Kabupaten Muaro Jambi, tepatnya di desa Muaro Jambi. Disebut komplek karena lokasi itu tidak hanya menyimpan satu candi melainkan puluhan candi. Namun, dari puluhan candi itu hanya beberapa yang selesai dipugar, sisanya masih berupa reruntuhan. Adapula gundukan-gundukan tanah bekas reruntuhan (menapo). Candi-candi yang bisa diamati yakni Candi Gumpung, Candi Tinggi, Candi Tinggi I, Candi Kembarbatu, Candi Kedaton, Candi Astano, Candi Gedong I, Candi Gedong II dan Candi Kotomahligai.

Cagar budaya ini bisa ditempuh dengan dua cara, jalan darat atau jalur sungai. Bila memilih jalan darat maka harus menyeberangi Jembatan Aur Duri. Sedangkan bila memilih jalur sungai, wisatawan terlebih dahulu menuju Pelabuhan Talang Duku, lalu menyeberangi Sungai Batanghari ke desa Muaro Jambi.

Memasuki areal komplek, wisatawan akan disambut Candi Gumpung yang berdiri kokoh. Candi yang dipugar tahun ini 1982-1988 ini dikelilingi pagar tembok sepanjang 150 x 155 m, dengan gapura utama berada di sisi timur. Ketika candi itu dipugar, ditemukan arca Prajnaparamita yang kemudian disimpan di Museum Situs yang terletak berhadapan dengan Candi Gumpung.

Di sebelah timur laut Candi Gumpung terlihat candi yang menjulang lebih tinggi. FM Schnitger dalam laporannya pada tahun 1937 menyebut candi setinggi 7,6 meter itu dengan sebutan Candi Tinggi. Pada candi induk terdapat tangga naik menuju kedua teras candi dengan tubuh bangunan makin mengecil pada puncaknya. Di seberangnya berdiri, Candi Tinggi I yang masih dikelilingi pagar kawat. Menurut Samiun, pemandu wisata, candi itu belum selesai dipugar.

Semakin masuk ke dalam, pengunjung akan menjumpai Candi Kembarbatu. Saat pemugaran ditemukan gong kuno dari perunggu bertuliskan huruf Cina yang kini menjadi koleksi Museum Negeri Jambi. Selain itu juga ditemukan pula lempengan-lempengan emas, batu akik bertuliskan huruf Jawa kuno dan keramik Cina sekitar abad 10-12.

Candi lainnya yang tidak boleh dilewatkan yaitu Candi Kedaton Candi itu paling besar ukurannya dan masih dianggap angker oleh penduduk setempat.

Yang menarik dikaji dari candi-candi ini yakni ukuran dan bahan penyusunnya. Dibandingkan candi-candi di Jawa, ukuran candi di situs ini tergolong tidak terlalu besar. Mereka juga menggunakan batu bata dan kerikil untuk menyusun candi, berbeda dengan candi-candi di Jawa yang menggunakan batu-batu berukuran besar.

Keberadaan komplek candi ini belakangan silam mulai populer. Ia menjadi pusat perayaan Waisak selain Candi Borobudur. Setiap tahunnya juga diadakan festival candi yang menarik banyak wisatawan. Selain wisatawan domestik banyak pula penganut agama Budha dari mancanegara yang berkunjung ke komplek candi ini. Ini tidak mengherankan. Pasalnya, ratusan tahun silam situs ini pernah menjadi pusat peribadatan agama Budha Tantrayana. Bukti ini terlihat dari candi dan sarana ritual seperti arca Prajnaparamita, tulisan mantra yang dipahatkan pada lempengan emas atau digoreskan pada bata dan arca gajah singha, [pus/berbagai sumber]